Dahayu Buah Delima

 Dahayu Buah Delima

Oleh: Fahri Azhar


Orang-orang memang selalu mendambakan cuaca cerah. Saat-saat di mana matahari bercahaya lembut menerpa mereka setiap pagi. Awal mula hari untuk mengambil langkah. Bukan hanya manusia, hewan-hewan kecil juga selalu merayakan datangnya mentari pagi. Burung-burung kecil beterbangan menggiring cahaya turun ke bumi. Kumpulan jangkrik yang semalaman pesta akhirnya senyap. Kumbang-kumbang berlompatan di rerumputan. Indah tak terperi. Tidak ada kompromi akan semua hal itu.

Damba yang sama dirasakan Dahayu. Gadis cantik itu akrab dipanggil Aya. Bagi gadis itu, cuaca cerah selalu menjadi semangat untuk memulai hari. Bangun dari tidurnya terasa lebih ringan ketika cahaya masuk, menelisik dari jendela kamarnya. Ia seperti mendapat kekuatan lebih dari negeri antah-berantah. Dahayu tinggal bersama kedua orang tuanya dalam satu rumah sederhana yang tak jauh berbeda dengan rumah-rumah lain pada umumnya. Halaman kecil di depan rumah beserta pagar tak seberapa tinggi mengelilinginya. Pada halaman belakang rumah terdapat satu pohon delima yang tumbuh dengan lebatnya.

Pohon delima itu memiliki kenangan tersendiri bagi Dahayu. Pohon delima itu adalah hadiah ulang tahun Dahayu yang diberikan ayahnya saat umurnya masih tujuh tahun. Sungguh berbeda dengan hadiah-hadiah lain pada umumnya. Bukan berupa kotak kado dengan bungkus cantik dan tali pita di atasnya, namun hanya satu tanaman kecil dengan tanah berbungkus plastik hitam robek. Sepuluh tahun sudah pohon itu menancap di pojok halaman belakang rumah Dahayu. Dan sekarang, ia tumbuh sangat menawan. Buahnya bulat merah bermahkota kecil. Siapa yang tak tergoda ranum buah delima? Nihil. Bahkan nun jauh di barat, sebuah kota jatuh akan kekagumannya pada buah delima. Sebuah kota metropolitan di Negeri Andalus. Granada.

“Ayah… di mana sepedaku?.” tanya Dahayu pagi itu setelah tampak bersiap-siap.

“Kemarin ibu memakainya ke pasar.” jawab ibunya yang sedang memasak menunjuk ke arah depan rumah.

“Mau ke mana kau, Aya?.” tanya ayah.
“Ke taman dekat balai desa itu.” jawab Aya.
“Nggak nunggu sarapan dulu?.” tanya ayah kembali.

Aya menggeleng. Ia beranjak mengambil sepedanya sembari menggigit sepotong roti. Perjalanan ke taman balai desa lumayan jauh. Memang cukup mudah menghafal rute dari rumahnya karena hanya dua kali belok. Namun jalanan lurus beberapa kilometer di tengah-tengah persawahan harus ditempuhnya. Aya mengayuh sepeda melawati rumah-rumah di desanya. Beberapa orang menyapa Aya dari depan rumah mereka. Ia hanya melambai. Takutnya, jika ia menjawab satu kata saja, roti yang digigitannya akan jatuh. Ketika di perjalanan, Aya mendapati ada dua buah delima dalam tas kecil di keranjang sepedanya. Ia tersenyum. Roda sepeda terus bergerak. Berputar di jalanan desa bersama mentari pagi dan buah delima di keranjang sepeda. Ah, morning vibe, seru hatinya riang.

Sesampainya di sana, taman itu masih kosong. Belum ada suara anak-anak kecil berebut perosotan. Aya menyandarkan sepedanya di bawah pohon dan berjalan menuju ayunan. Ia duduk di atas ayunan itu lalu berpegangan pada gantungannya di kiri dan kanan. Kakinya mengayun kecil untuk memberikan daya pada ayunan itu. Aya lalu membuka tas kecil berisi delima tadi. Ia memakan salah satu buah delima itu sambil berayun di atas ayunan. Suatu cara yang anggun untuk menikmati pagi.

Searah pandangannya, seorang pemuda yang kira-kira seumurannya tampak sibuk dengan satu buku kecil, pensil, dan penghapus di ujung jarinya.

“Apa yang dilakukan orang itu.” tanya hati Aya sambil memakan buah delimanya.

Sebenarnya Aya cukup penasaran dengan hal itu. Pemudaitu tampak kebingungan beberapa saat, namun sekejap ia kembali tidak peduli. Aya yang dari tadi mengamati pemuda itu juga semakin lama semakin tidak peduli padanya.

“Ah… mungkin ia sedang berandai-andai akan semesta sambil menulis puisi.” pikir Aya lagi.

Tiba-tiba ayunan Aya berdecit semakin keras. Memang sedari awal Aya menaikinya, ayunan itu sudah mengeluarkan bunyi. Namun kali ini sedikit terdengar lebih jelas. Lebih kuat. Aya melihat ke atas. Ada karat di penyangga besinya karena mungkin diterpa musim hujan lalu. Aya mencoba mengabaikannya. Namun setelah itu, besi karat tadi patah. Aya terjatuh dari ayunan itu. Posisi ayunan yang cukup tinggi, sekitar setengah badan Aya, membuat keadaan semakin memburuk. Tangan kirinya terasa sakit karena menyangga tubuhnya saat jatuh. Kaki kirinya juga sakit ketika Aya mencoba untuk berdiri. Namun seketika ada uluran tangan di depan matanya.
“Sini kubantu.”

Aya menengadah. Ternyata Ia adalah pemuda tadi. Pemuda itu membantu Aya berdiri dan berjalan menuju bangku kayu di samping ayunan yang patah tadi.

“Terima kasih atas bantuanmu tadi. Kakiku benar-benar sakit saat aku meocoba untuk berdiri.” Kata Aya.
“Tidak masalah. Lagi pula, tak ada orang lagi selain aku yang akan membantumu di sini.” jawab pemuda itu.
“Maksudmu?”
“Ehh… jika mungkin ada orang lain selain aku di sini, mungkin aku akan membiarkannya menolongmu.” tukasnya.
“Memang betul dugaanku. Alismu berkata kau memang tidak peduli pada apapun.” kata Aya tak kalah ketusnya.
“Jadi kau dari tadi mengamatiku?.” tanya pemuda itu tampak heran.
“Memang”
“Oh.” jawab pemuda itu tak peduli.
“Namamu siapa?.” tanya Aya.
“Kunta.” jawab pemuda itu sambil menjulurkan tangannya.

Sesaat kemudian, Aya tampak bingung mencari sesuatu. Ia meminta tolong kepada Kunta untuk mengambilkan buah delima yang jatuh bersamanya tadi.

”Terima kasih sekali lagi. Ngomong-ngomong, kau tadi sedang apa? Menulis puisi?.” Tanya Aya setelah membagi buah delima itu dengan Kunta. Mereka menikmatinya bersama.

“Aku suka puisi. Tapi dari tadi aku sedang menggambar ini.” jawab Kunta sambil menunjukkan bukunya.

Aya terkejut melihat itu. Ia kira dugaannya tentang puisi tadi hampir benar. Ternyata sangat berbeda. Di kertas putih itu, ada gambar ayunan. Seorang gadis sedang duduk di ayunan itu. Lengkap dengan buah delima di tangannya. Aya kaget sekaligus senang dan terpukau. Kunta seperti menggariskan ayunan kaki Aya. Ia benar-benar bisa menangkap momen ketika Aya sedang berada di atas ayunan itu. Sangat nyata.

“Kau menggambarku?.” tanya Aya.
Percakapan di antara mereka berdua berlangsung sangat lama. Rasa penasaran satu dengan yang lain seperti tak ada habisnya. Aya bertanya, Kunta menjawab. Kunta bertanya, Aya menjawab. Terus seperti itu. Perut Aya yang sedari pagi hanya menelan sepotong roti dan buah delima tak memberontak. Ia tak mau mengganggu Aya saat ini.

Matahari mulai meninggi. Rasa panasnya juga semakin membakar kulit yang berani menantangnya tanpa berteduh.
“Hari sudah siang. Bagaimana kau akan pulang dengan keadaan seperti ini?.” tanya Kunta,

“Sakit di kakiku sudah sudah mulai menghilnag. Tapi masih sulit digerakkan.”
“Lalu?.” tanya Kunta.
“Sekali lagi, maukah kau menolongku?.” pinta Aya.
Kunta menghela nafas panjang. Ia mau membonceng Aya pulang.
“Sekali lagi terima kasih Kunta. Aku berhutang padamu.” kata Aya merasa Kunta sangat baik sudah mengantarnya sampai depan rumah.

Aya ingin sekali membalas kebaikan Kunta dengan memberikan satu buah delima yang tersisa tadi. Ia merogoh tas kecilnya, namun seperti tidak ada apapun di dalam sana. Tangannya berkelana dalam tas kecil itu. Ternyata sudah tidak ada buah delima yang tersisa.

“Kau mencari apa?” tanya Kunta.
“Ehh… tidak.” jawab Aya menyembunyikan sesuatu.
“Lalu bagaimana kau akan pulang?.” tanya Aya kemudian.
“Tenang saja. Kaki-kakiku akan berlomba dengan matahari, siapa yang akan sampai ke rumah lebih dulu.”

Aya tersenyum. Kunta beranjak pulang. Ia berlari menembus angin. Sekejap tubuh Kunta sudah tidak terlihat lagi di ujung jalan. Matahari pun tak mau kalah. Ia harus melanjutkan perjalanannya di belahan bumi lain.
***
Tanpa Aya sadari, ternyata pertemuannya dengan Kunta adalah hari terakhir musim panas. Sehari setelah itu, hujan mengguyur tanpa henti. Ini adalah musim panas tersingkat sejak sepuluh tahun lalu. Tak ada hari tanpa hujan. Entah angin mana yang mengumpulkan awan mendung dari seluruh dunia. Atau mungkin kekuatan gravitasi bumi yang bertambah sekian meter per detik sehingga ia mampu menarik titik-titik air, bahkan dari atmosfer paling tinggi sekalipun. Tak ada yang tahu. Sebenarnya hujan berhenti saat malam, namun kerinduannya pada bumi meledak pada pagi hari.
Tak ada yang salah dengan hujan. Ia hanya turun sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada semua makhluk di muka bumi. Sejak di bangku sekolah dasar, kita semua sudah tahu bagaimana siklus hujan terbentuk. Semua merupakan proses-proses masuk akal dari dalam tanah, sungai, danau, dan laut. Air lalu menguap oleh matahari, angin, awan, kondensasi, dan proses-proses ajaib lain di atas langit hingga turun ke bumi.
Namun bagi beberapa orang yang lain, hujan adalah drama. Materinya adalah persenan yang tak adil antara air dan kenangan. Hujan adalah peristirahatan bagi jiwa-jiwa yang lelah dihantam kerinduan. Hujan adalah bentuk perayaan–untuk mereka yang lelah menunggu–di setiap malam minggu. Tak tahu mengapa, tercipta siklus baru hujan di sini. Titik-titik air yang semula jatuh dengan polosnya berubah lewat proses-proses abstrak yang melibatkan rasa, penghayatan, dan kenyataan. Dan di hadapan Dahayu, hujan adalah penantian.
Aya sangat menanti datangnya hari-hari cerah. Saat dimana matahari pagi bercahaya lembut menerpa setiap pagi. Awan-awan putih berjajar menyambut pucuk bunga yang mulai bermekaran. Aya ingin sekali bersepeda ke taman dekat balai desa itu lagi. Akan tetapi, tak ada yang tahu kapan hari itu akan datang.Hanya ada satu pertanyaan dalam hati Dahayu.
“Kapan hujan akan berhenti?.”
Namun anehnya, penantian Aya tidak hanya pada datangnya hari cerah. Jauh di pojok sana, di ruang terdalam hatinya, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang meminta untuk ditemukan. Dan tanpa Aya sadari, sebelum matanya tertutup di malam hari, karena hal itu, Ia selalu berdoa agar hujan tidak turun satu hari saja. Bersamaan dengan itu, sebuah harapan tumbuh.Tumbuh dalam satu pertanyaan akan penantian kepada seseorang.
“Akankah ia ada di sana, saat hari itu tiba?.” Tanya gadis selalu tak mendapat jawaban selain angin kosong.
***
Delapan bulan lamanya penantian itu. Hujan terlalu enggan untuk segera meninggalkan bumi. Sampai-sampai iri matahari melihatya. Ia tak tahan melihat kemesraan itu dua belas jam lamanya. Ingin sekali matahari berjumpa malam purnama. Bergelayutan dengan bintang-gemintang di atas sana. Namun sebelum ia sempat akan itu, di belahan bumi lain, jiwa-jiwa yang sedang terlelap menunggu pucuk sinarnya.

Hari yang ditunggu telah tiba. Pagi cerah bersinar. Tangan dan kaki kiri Aya juga telah pulih setelah jatuh dari ayunan itu. Penantian panjang akan segera berakhir. Harapan baru muncul bersama doa-doa Aya setelah ia bangun dari tidurnya. Ia tak sabar ingin segera ke taman dekat balai desa itu. Masih dengan sepeda yang sama, ia bergegas menuju ke sana. Saking semangatnya, kodok-kodok yang tampak kehabisan suara karena sibuk ngorek selama hujan turun tak dihiraukannya.

Sesampainya di taman, Aya bergegas turun dari sepeda dan menyandarkannya di tempat yang sama seperti 8 bulan lalu. Namun ketika sampai di sana, ia tertegun sejenak. Tampak ada sesuatu yang berubah di taman itu. Diperhatikannya satu per satu apapun yang ada di sana. Ayunan yang 8 bulan lalu patah olehnya, sekarang juga masih sama. Kursi-kursi kayu yang berjajar masih dengan jumlah yang sama. Perosotan, tak tambah panjang. Memang ada sedikit kubangan air, sisa-sisa musim hujan kemarin. Tetapi bukan itu sosok baru di sana. Aya mengamati sosok itu dari bawah ke atas.

“Dari mana asalnya pohon delima ini?” tanya Aya dalam hatinya.

Aya berjalan mendekati pohon delima itu. Nampak olehnya seseorang tengah duduk bersandar di sisi lain pohon itu. Ia perlahan mendekati orang itu, beserta dengan harapan orang itu adalah Kunta. Ternyata benar. Harapan dan penantiannya selama musim hujan terbayar tuntas. Ia sangat senang Kunta berada di sana saat hari itu tiba. Kunta membuka matanya. Ia sedikit kaget sekaligus senang Aya telah berdiri dihadapannya.

“Aya?” tanya Kunta.
Aya tersenyum.
“Syukurlah kau masih mengingatku.” jawab Aya senang karena mereka tak bertemu lagi sejak hari pertama pertemuan itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan seseorang sepertimu dengan buah delimanya?.”
“Delima?.” tanya Aya bingung.
“Sebenarnya, setelah aku memboncengmu pulang, aku kembali sebentar ke taman ini dan menanam pohon delima. Aku pikir itu akan menjadi kenangan pertemuan kita. Tapi tak lama setelah itu, hujan sudah bersiap menyerang bumi. Dan tahukah kau hasil perlombaanku dengan matahari?”
“Kau kalah?” tebak Aya.
“Benar. Begitu pula matahari. Kami kalah dengan hujan. Ia lebih dulu turun ke bumi sebelum kami berdua sampai di rumah.”
Aya tersenyum mendengar cerita itu. Mereka berdua senang dapat bertemu kembali setelah delapan bulan dibuat menunggu oleh hujan. Dan bersamaan dengan itu, sebuah pohon delima tumbuh. Ia tumbuh dari buah delima yang mengikat rasa antara Aya dan Kunta. Tak ada siapapun yang tahu, di haribaan hujan, akar-akar tumbuh terhubung dengan bumi. Daun-daun kecil perlahan muncul dari mahkota buahnya. Lalu naik semakin tinggi sehingga berwujud satu pohon delima yang utuh. Sama dengan pohon-pohon delima pada umunya. Hanya saja pohon delima itu tumbuh bersama harapan dan doa-doa Aya. Sebelum terlelap, Ia selalu meminta agar Kunta hadir sebagai jawaban akan penantiannya.