Dalam dinamika global yang terus berkembang, peran perguruan tinggi tidak lagi sebatas sebagai lembaga pendidikan semata. Harapan masyarakat kini bertumpu pada kampus sebagai jembatan antara dunia akademik, industri, dan solusi atas berbagai persoalan sosial. Namun, realitas yang terjadi kerap kali berbeda. Banyak perguruan tinggi justru terjebak dalam tradisi akademik lama, di mana hasil-hasil penelitian mahasiswa dan dosen hanya berhenti pada naskah tertulis yang berakhir sebagai penghuni tetap rak perpustakaan. Karya ilmiah sering tidak lebih dari formalitas untuk memenuhi syarat kelulusan atau kenaikan jabatan, tanpa nilai aplikatif yang konkret bagi masyarakat luas (Ismail, 2020).

Salah satu hambatan utama terletak pada format tugas akhir atau skripsi yang cenderung kaku. Skripsi masih didominasi oleh pendekatan kuantitatif atau kualitatif dalam kerangka metodologis klasik, lengkap dengan batasan jumlah halaman dan sistematika tertentu. Padahal, banyak ide kreatif dan inovatif dari mahasiswa yang dapat dituangkan dalam bentuk proyek aplikatif seperti hak paten, buku pemikiran, rancangan produk, atau inovasi sosial. Sayangnya, semua ini seringkali terhambat oleh tuntutan administratif dan konservatisme akademik yang kurang memberi ruang pada bentuk-bentuk karya ilmiah alternatif (Nugroho, 2021).


Arah Baru Perguruan Tinggi Islam: Menjadi Pusat Unggulan Penelitian

Jika Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) bercita-cita menjadi salah satu pusat riset terdepan di Jawa Timur atau bahkan nasional, maka perlu adanya reposisi strategi dan fokus riset. Empat bidang unggulan yang dapat menjadi pilar utama pengembangan riset UINSA adalah: (1) kajian sosial-politik dan kemasyarakatan, (2) ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, (3) penelitian pesisir dan energi alternatif, serta (4) studi keislaman klasik.

Pemilihan fokus ini bukan tanpa alasan. Misalnya, bidang pemberdayaan ekonomi sangat relevan dengan misi UINSA sebagai lembaga pendidikan Islam yang berpihak pada kelompok marginal. Demikian pula, kajian tentang energi alternatif memiliki prospek besar dalam konteks krisis energi dan transisi menuju ekonomi hijau (Fatimah, 2022). Kajian keislaman klasik yang berbasis pada khazanah turats tetap menjadi kekuatan inti, karena inilah identitas perguruan tinggi Islam.

Pemetaan potensi lokal dan tantangan global menjadi langkah awal dalam mengembangkan keunggulan tersebut. Setelahnya, diperlukan penyusunan roadmap atau peta jalan pengembangan yang terstruktur. Misalnya, penargetan akreditasi jurnal internal dalam empat tahun dan indeksasi Scopus dalam delapan tahun menjadi langkah konkret yang bisa dicanangkan. Jurnal yang sudah mencapai Scopus seperti Journal of Indonesian Islam Studies (JIIS) dan Teosofi dapat menjadi benchmark bagi jurnal lainnya.


Integrasi Mahasiswa dan Riset Unggulan

Upaya untuk mengintegrasikan mahasiswa dalam ekosistem riset unggulan harus dilakukan secara sistematis. Salah satu langkah awalnya adalah mendorong mahasiswa agar memilih topik skripsi yang relevan dengan fokus riset institusi. Mahasiswa juga dapat dibimbing untuk menyusun hasil penelitiannya menjadi buku bunga rampai atau dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Ini membuka peluang agar karya mahasiswa tidak berhenti sebagai dokumen formal, melainkan menjadi bagian dari kontribusi akademik yang berkelanjutan.

Contoh konkret dapat diambil dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sudah menerapkan skema tugas akhir berbasis proyek (project-based thesis), di mana mahasiswa bekerja sama dengan dosen dalam sebuah tim riset dan hasilnya dipublikasikan atau dimanfaatkan oleh masyarakat (UGM Research Report, 2021). Pendekatan ini dapat direplikasi di UINSA dengan adaptasi sesuai konteks lokal dan bidang keilmuan masing-masing.

Hasil-hasil riset kemudian dapat dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan melalui seminar, diseminasi berkala, dan kerja sama dengan media maupun pemerintah daerah. Sebagai contoh, ketika pemerintah daerah menempatkan pembangunan desa sebagai prioritas, maka riset yang fokus pada pembangunan pedesaan bisa menjadi program unggulan perguruan tinggi. Kegiatan ini dapat diperluas melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) berbasis riset dan pengabdian, atau melalui pendekatan pembelajaran berbasis komunitas (community-based learning), di mana masyarakat desa berfungsi sebagai "kelas belajar" bagi mahasiswa dan dosen.


Inovasi Manajerial dan Administratif Menuju Universitas Modern

Langkah menuju universitas Islam unggulan tidak hanya membutuhkan reformasi akademik, tetapi juga inovasi dalam tata kelola administrasi. Digitalisasi layanan kampus, misalnya, harus diperluas tidak hanya pada presensi atau kehadiran, tetapi juga pada layanan akademik dan kealumnian. Sistem administrasi digital memungkinkan proses legalisir ijazah, pengurusan transkrip, dan pelayanan lainnya dilakukan secara daring, tanpa kehadiran fisik alumni di kampus. Hal ini sudah mulai diterapkan di beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia yang memiliki sistem e-legalization untuk alumninya (UI Academic Services, 2020).

Selain itu, perlu pula solusi inovatif terhadap masalah klasik seperti tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Salah satu gagasan kreatif yang layak dikembangkan adalah model bank sampah sebagai alternatif pembayaran UKT. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu dapat menabung dalam bentuk sampah non-organik seperti botol plastik, kardus, atau logam, yang kemudian dikonversi ke dalam nilai moneter melalui sistem e-money. Tabungan ini bisa digunakan untuk membayar UKT atau bertransaksi di koperasi dan unit usaha kampus.

Model ini sudah terbukti berjalan di beberapa daerah seperti di Kota Malang, di mana Dinas Lingkungan Hidup bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk membentuk bank sampah edukatif. UINSA dapat mengembangkan model serupa dengan tambahan fitur digital dan pengelolaan profesional. Tentu, implementasi ide ini memerlukan pengembangan manajemen dan infrastruktur, seperti gudang penyimpanan, sistem akuntansi, dan jaringan dengan mitra pengelola sampah.


Frugal Innovation: Kunci Sukses Universitas Islam Masa Kini

Kunci dari semua terobosan ini adalah keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan mulai menerapkan pendekatan frugal innovation, yakni inovasi hemat yang berfokus pada efisiensi sumber daya dengan hasil maksimal. Konsep ini banyak diterapkan di negara berkembang yang menghadapi keterbatasan sumber daya, namun tetap ingin menghasilkan dampak besar dalam dunia pendidikan dan teknologi (Radjou & Prabhu, 2015).

Frugal innovation bukan berarti kualitas rendah, tetapi justru menunjukkan kecerdasan dalam mengelola potensi yang ada secara optimal. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi Islam seperti UINSA dapat membuktikan bahwa menjadi universitas unggulan dan pusat kebudayaan bukanlah mimpi yang mustahil. Sebaliknya, itu adalah tantangan yang dapat diwujudkan dengan visi kuat, inovasi berkelanjutan, dan keterlibatan aktif seluruh elemen kampus.


Penutup: Jalan Panjang, Harapan Besar

Pembangunan perguruan tinggi Islam yang unggul adalah proses panjang yang membutuhkan kolaborasi, inovasi, dan ketangguhan. Dibutuhkan reformasi di banyak lini: dari sistem kurikulum, manajemen riset, tata kelola kampus, hingga sistem pembiayaan. Namun, dengan visi yang kuat, strategi yang terarah, serta keberanian mencoba hal baru, tidak ada alasan bagi perguruan tinggi Islam di Indonesia untuk tidak mampu berdiri sejajar dengan kampus-kampus kelas dunia.

Membangun sebuah premier Islamic university bukan hanya tentang membanggakan lembaga secara institusional, tetapi juga tentang menciptakan peradaban, memperluas kemaslahatan, dan memperkokoh jembatan antara ilmu pengetahuan, nilai-nilai Islam, dan kebutuhan masyarakat.


Disiapkan oleh: Achmad Room Fitrianto, PhD

 

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan penting yang menopang berbagai aktivitas masyarakat, mulai dari transportasi, sektor industri, hingga kebutuhan rumah tangga. Ketergantungan terhadap BBM membuat ketersediaannya menjadi hal yang harus terus dijaga. Akan tetapi, belakangan ini warga Bengkulu mengalami kesulitan akibat kelangkaan BBM di sejumlah wilayah. Antrean panjang di SPBU menjadi pemandangan yang kerap terjadi, menimbulkan ketidaknyamanan sekaligus menghambat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat.



Meski kejadian seperti ini bukan hal baru, namun kali ini situasinya terasa lebih parah karena bertepatan dengan libur panjang dan peningkatan kebutuhan energi. Masalah ini menjadi perhatian serius karena berdampak pada rantai distribusi barang dan jasa, serta memperlambat mobilitas masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman menyeluruh tentang penyebab kelangkaan serta upaya konkret dari berbagai pihak untuk menanganinya.

Dikutip dari berbagai media seperti Kompas dan Antara News, salah satu faktor utama kelangkaan BBM di Bengkulu adalah keterlambatan pasokan dari terminal BBM ke SPBU di berbagai daerah. Gangguan ini dipicu oleh cuaca ekstrem yang menghambat distribusi lewat jalur darat dan laut. Mengingat Bengkulu belum memiliki fasilitas kilang minyak skala besar, pasokan BBM masih bergantung dari provinsi lain seperti Palembang dan Lampung. Ketergantungan ini menjadikan Bengkulu sangat rentan terhadap gangguan pengiriman.

Di samping itu, konsumsi BBM bersubsidi, seperti Pertalite dan Solar, meningkat secara signifikan menjelang hari besar dan libur nasional. Akibatnya, stok di SPBU cepat menipis sebelum pasokan baru datang. Situasi diperburuk oleh oknum-oknum yang melakukan pembelian berulang dengan cara memodifikasi kendaraan atau membeli menggunakan beberapa kendaraan dalam sehari. Tindakan tersebut memperparah kelangkaan dan menimbulkan ketimpangan distribusi.

Keluhan dari warga terus bermunculan. Berdasarkan laporan Bengkulu Ekspress, masyarakat mengaku harus mengantre selama berjam-jam demi mendapatkan beberapa liter bahan bakar. Di beberapa wilayah, antrian tersebut bahkan menyebabkan kemacetan dan menimbulkan potensi konflik di antara pengguna jalan.

Masalah kelangkaan ini berdampak luas, tidak hanya pada kenyamanan publik tetapi juga pada keberlangsungan berbagai sektor. Dalam dunia transportasi, kendaraan umum dan pribadi mengalami kesulitan operasional akibat susahnya memperoleh BBM. Sopir ojek dan angkutan umum kehilangan banyak waktu hanya untuk mengantri, yang otomatis menurunkan penghasilan mereka.

Sementara itu, pelaku usaha kecil dan menengah turut merasakan dampaknya. Terhambatnya distribusi barang membuat pasokan tidak lancar dan berdampak pada kenaikan harga di pasar. Biaya logistik yang meningkat karena kendaraan pengangkut sulit mendapatkan BBM juga menambah beban pelaku usaha. Sebagian masyarakat akhirnya memilih membeli BBM nonsubsidi seperti Pertamax yang harganya jauh lebih mahal. Bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, ini menjadi beban tambahan yang cukup memberatkan, mengingat mereka sangat bergantung pada BBM bersubsidi untuk menunjang aktivitas sehari-hari.

Menghadapi situasi ini, Pemerintah Provinsi Bengkulu melalui Dinas ESDM bekerja sama dengan pihak Pertamina dan aparat keamanan melakukan berbagai langkah penanganan. Salah satu solusi awal adalah memperketat pengawasan distribusi BBM, terutama jenis bersubsidi, agar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Pertamina Patra Niaga Wilayah Sumbagsel telah berupaya meningkatkan suplai BBM ke Bengkulu dan mengatur kembali operasional SPBU agar bisa melayani masyarakat secara lebih merata. Di saat yang sama, penerapan sistem digital seperti aplikasi MyPertamina mulai dioptimalkan untuk memastikan bahwa pembelian BBM subsidi dilakukan oleh konsumen yang memang berhak.

Aparat kepolisian dan dinas terkait juga melakukan patroli dan pemeriksaan rutin guna mencegah penimbunan serta penyalahgunaan BBM oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Di beberapa lokasi, seperti Kabupaten Rejang Lebong dan Seluma, polisi berhasil menangkap pelaku yang diketahui menimbun BBM untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi di pasar gelap. 

Sebagai bentuk pengendalian, sejumlah SPBU mulai mencatat plat nomor kendaraan dan membatasi jumlah pembelian BBM per hari. Langkah ini bertujuan untuk mencegah praktik pembelian berulang yang selama ini mempercepat habisnya stok. Untuk menangani kelangkaan BBM secara menyeluruh, perlu ada kebijakan jangka panjang dan sistematis. Pemerintah pusat dan daerah harus membenahi rantai distribusi dengan membangun infrastruktur penyaluran dan penyimpanan yang lebih kuat. Penyediaan fasilitas cadangan di wilayah rawan seperti Bengkulu bisa menjadi solusi jangka panjang yang efektif.

Pendataan penerima subsidi juga harus diperbarui secara berkala. Sistem digitalisasi seperti QR Code dan MyPertamina perlu disosialisasikan secara lebih luas agar masyarakat dapat memahami cara penggunaannya dan manfaatnya dalam menyalurkan subsidi secara tepat. Kesadaran masyarakat juga memegang peran penting. Edukasi publik mengenai bahaya panic buying serta dampak penimbunan BBM harus digalakkan melalui media massa dan kampanye lapangan. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan warga sangat dibutuhkan untuk memastikan kelangkaan ini tidak terus berulang.

Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penimbunan harus menjadi prioritas. Aparat harus sigap dan proaktif dalam mendeteksi serta menindak pihak-pihak yang menyalahgunakan sistem distribusi BBM. Jika semua pihak menjalankan perannya secara optimal, maka ketahanan energi di daerah seperti Bengkulu akan lebih terjaga.

Kelangkaan BBM yang terjadi di Bengkulu merupakan masalah yang tidak bisa dianggap sepele. Permasalahan ini mencerminkan lemahnya sistem distribusi serta pengawasan terhadap penyaluran BBM, khususnya yang bersubsidi. Dampaknya sangat luas, mencakup transportasi, perdagangan, hingga kondisi sosial masyarakat.

Namun, dengan berbagai langkah responsif dari pemerintah, Pertamina, dan aparat penegak hukum, serta partisipasi aktif dari masyarakat, persoalan ini perlahan dapat diatasi. Ke depan, dibutuhkan reformasi dalam sistem distribusi energi, penguatan infrastruktur, serta kebijakan subsidi yang berbasis data dan teknologi.

Jika semua pihak dapat bersinergi dan menjalankan perannya secara konsisten, maka kelangkaan BBM tidak hanya bisa dihindari, tetapi juga menjadi pelajaran penting untuk mewujudkan ketahanan energi yang berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bengkulu.


Oleh: Ahmad Zaky Fachri, Prodi : Ilmu Ekonomi

 

Setiap kali bulan Muharram tiba dan umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah, masyarakat Muslim diingatkan kembali pada peristiwa penting hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah bukan semata perpindahan geografis, melainkan simbol transformasi sosial, politik, dan spiritual yang sangat mendalam. Dalam konteks kekinian, peringatan Tahun Baru Hijriah mestinya menjadi momentum untuk melakukan hijrah dalam makna perubahan—baik perubahan pribadi, komunitas, maupun kebijakan kolektif umat.

Tantangan kita hari ini sangat berbeda dengan masa Rasulullah. Kita hidup dalam era yang disebut era disrupsi, di mana perubahan berlangsung begitu cepat karena inovasi teknologi, digitalisasi, dan globalisasi. Dalam situasi ini, umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk adaptif, inovatif, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang mendalam.

Tahun Baru Hijriah di Era Disrupsi

Konsep disrupsi pertama kali dicetuskan oleh Clayton Christensen (1997) dalam teorinya tentang disruptive innovation. Teknologi yang awalnya hanya digunakan oleh segmen kecil, dalam waktu singkat mampu mengguncang tatanan besar yang mapan. Era disrupsi saat ini menandai runtuhnya otoritas lama dan naiknya kekuatan-kekuatan baru: munculnya platform digital yang menggantikan peran media tradisional, e-commerce yang menantang pasar konvensional, hingga algoritma AI yang mengubah cara kita bekerja dan berinteraksi.

Dalam dunia Muslim sendiri, fenomena disrupsi ini nyata. Dakwah digital melalui TikTok, YouTube, dan Instagram telah menjangkau jutaan orang, namun juga membawa risiko dangkalnya pemahaman agama. Ustaz selebgram, kajian instan, dan kultus personalitas menggeser otoritas keilmuan yang sebelumnya berbasis pesantren dan masjid.

Tantangan umat di era ini bukan hanya pada aspek teknologi, tapi juga pada dimensi nilai. Ketika kapitalisme digital mendorong konsumsi tak terkendali, bagaimana umat Islam menjaga ruh asketisme dan kesederhanaan? Di sinilah, refleksi tahun baru Hijriah menjadi sangat relevan: apakah kita siap melakukan “hijrah” dari gaya hidup konsumtif menuju spiritualitas yang membebaskan?

Generasi Z dan Tantangan Spiritualitas

Generasi Z, yang lahir pada rentang tahun 1997–2012, kini mulai memasuki usia produktif. Mereka dikenal sebagai generasi digital-native yang akrab dengan gawai sejak lahir. Karakter mereka adalah cepat, visual, multitasking, dan sangat adaptif. Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi tantangan kesehatan mental, krisis identitas, dan kerentanan spiritual yang tinggi.

Studi Pew Research Center (2019) menemukan bahwa meski Generasi Z sangat melek teknologi, tingkat keterhubungan mereka dengan institusi agama mengalami penurunan. Banyak dari mereka lebih memilih jalan spiritual personal dibandingkan dengan keterlibatan dalam komunitas keagamaan formal. Di sisi lain, mereka juga menjadi kelompok yang sangat peduli terhadap isu lingkungan, keadilan sosial, dan inklusivitas.

Pertanyaannya: bagaimana tahun baru Hijriah dan nilai hijrah bisa dimaknai oleh Generasi Z?

Pertama, hijrah bisa diinterpretasikan sebagai perubahan kesadaran dari superficiality ke substansialitas. Ini sejalan dengan kebutuhan Gen Z untuk menemukan makna di tengah banjir informasi dan tekanan sosial media.

Kedua, hijrah dapat diartikan sebagai transformasi dari individualisme ke partisipasi sosial. Umat Islam, terutama generasi muda, perlu kembali melihat Islam sebagai kekuatan kolektif yang mampu mendorong perubahan sosial.

Resolusi Keumatan: Apa yang Harus Dilakukan?

Tahun baru Hijriah harus menjadi momentum reflektif umat Islam untuk membuat resolusi bersama. Resolusi yang tidak sekadar seremonial, tapi membawa energi perubahan nyata. Beberapa poin resolusi keumatan yang relevan adalah:

1. Revitalisasi Literasi Islam Digital

Dakwah dan edukasi keislaman harus mengikuti perkembangan zaman. Perlu dibangun ekosistem literasi digital Islam yang sehat—yang bukan hanya menawarkan motivasi, tapi juga memberikan kedalaman pemahaman. Kementerian Agama, MUI, dan ormas Islam perlu membangun kurikulum dakwah digital berbasis etika dan keilmuan, serta memberdayakan konten kreator muda yang paham nilai Islam substantif.

2. Ekonomi Hijrah: Dari Konsumsi ke Produksi

Konsep ekonomi hijrah menekankan pada perpindahan dari konsumsi reaktif menuju produksi kreatif. Generasi Z yang memiliki talenta digital bisa diarahkan untuk menjadi content creator, entrepreneur, dan pelaku ekonomi syariah. Dengan platform seperti Halal Marketplace, Wakaf Digital, dan Crowdfunding ZIS (Zakat, Infak, Sedekah), potensi ekonomi umat bisa digerakkan dari bawah.

3. Islam sebagai Gerakan Sosial

Nilai hijrah tidak pernah lepas dari keberpihakan kepada yang tertindas. Resolusi keumatan harus mengembalikan Islam sebagai kekuatan pembebas—yang hadir di tengah problem masyarakat seperti kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan gender. Gerakan filantropi, advokasi sosial, hingga gerakan green masjid adalah contoh aktualisasi Islam dalam kehidupan sehari-hari.

4. Manajemen Diri dan Sumber Daya Manusia

Konsep self management yang diajarkan Islam sangat relevan dengan kebutuhan pengembangan SDM umat. Waktu (manajemen waktu ala hijriyah), akhlak, dan produktivitas menjadi tiga komponen utama. Menghidupkan kembali semangat puasa sunnah, qiyamul lail, atau tilawah harian bisa menjadi bagian dari upaya memperkuat spiritualitas sekaligus meningkatkan disiplin.

5. Kebijakan Umat Berbasis Data

Umat Islam perlu keluar dari jebakan wacana reaktif. Resolusi tahun baru Islam harus berbasis riset dan data. Siapa umat Islam Indonesia hari ini? Apa masalah utamanya? Bagaimana strategi ekonominya? Kajian-kajian seperti Muslim Consumer Behavior, Islamic Social Capital, dan Halal Ecosystem harus dikembangkan lebih serius agar umat tidak hanya jadi objek, tapi subjek transformasi.

Penutup: Hijrah sebagai Langkah Peradaban

Hijrah adalah energi perubahan. Dalam konteks kekinian, hijrah berarti membangun kembali peradaban Islam dengan menyentuh jantung persoalan umat: spiritualitas, kesadaran kritis, literasi, dan partisipasi sosial.

Bagi Generasi Z, tahun baru Hijriah bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi membuka ruang refleksi dan aksi masa depan. Apakah mereka siap menjadi generasi hijrah yang berani keluar dari zona nyaman menuju peradaban Islam yang mencerahkan?

Tahun baru Hijriah adalah waktu yang tepat untuk mengoreksi arah. Jika selama ini kita mengejar materi, kini saatnya menata makna. Jika selama ini Islam hanya dipraktikkan sebagai ritual, kini saatnya kita menjadikannya sebagai gerakan sosial. Dan jika selama ini kita kehilangan arah, kini saatnya hijrah kembali ke prinsip awal: keadilan, kesederhanaan, dan kemanusiaan.

Diberdayakan oleh Blogger.