Fiskal Mikro untuk Masyarakat Mikro: Menakar Dampak Nyata APBN ke Kehidupan Rakyat Bawah


Di balik angka-angka triliunan rupiah yang tertera dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ada harapan yang disematkan oleh jutaan rakyat kecil. APBN bukan sekadar urusan makroekonomi yang jauh dari kehidupan sehari-hari, melainkan instrumen vital yang menentukan apakah masyarakat miskin bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Sayangnya, diskusi tentang anggaran negara seringkali terdengar abstrak bagi masyarakat awam. Padahal, keberadaan APBN menyentuh langsung kebutuhan dasar rakyat bawah mereka yang kerap tak bersuara dalam proses pengambilan kebijakan.

Dalam konteks masyarakat ekonomi lemah, kehadiran APBN sangat terasa melalui berbagai program subsidi, bantuan sosial, dan pembangunan infrastruktur dasar. Misalnya, program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan wujud nyata intervensi fiskal yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Sayangnya, distribusi manfaat APBN belum sepenuhnya merata. Masih ada daerah-daerah yang sulit dijangkau pembangunan atau kelompok masyarakat yang tidak terdata secara administratif, sehingga tidak mendapatkan bantuan sebagaimana mestinya. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan fiskal kita benar-benar inklusif?

Untuk memastikan keadilan fiskal, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan APBN menjadi sangat penting. Masyarakat berhak tahu ke mana arah belanja negara dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan publik. Peran media, lembaga pengawas, dan partisipasi warga menjadi kunci dalam mengawal agar anggaran benar-benar berpihak kepada mereka yang membutuhkan.

Di tingkat lokal, implementasi APBN sering kali dihadapkan pada masalah teknis dan birokrasi yang berbelit. Penyaluran bantuan yang lambat, proyek infrastruktur mangkrak, hingga tumpang tindih program antara pusat dan daerah menjadi tantangan nyata. Padahal, di balik anggaran tersebut, ada harapan masyarakat kecil yang menanti perubahan.

Masyarakat tidak hanya perlu menjadi penerima manfaat, tetapi juga agen yang aktif dalam mengawasi dan memberi masukan atas kebijakan fiskal negara. Edukasi publik mengenai APBN, baik melalui media sosial, diskusi kampus, hingga forum warga, menjadi penting agar kesadaran kolektif tumbuh. Ketika masyarakat paham alur anggaran, maka kontrol sosial terhadap pemerintah akan semakin kuat.

Di tengah tantangan ekonomi yang kian kompleks, kehadiran APBN sebagai alat pemerataan kesejahteraan menjadi sangat krusial. Namun, dampak nyatanya hanya akan terasa jika kebijakan fiskal dijalankan dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan partisipasi publik. Harapan akan perubahan tidak cukup hanya dengan anggaran yang besar, tetapi juga dengan komitmen semua pihak untuk menjadikan APBN sebagai milik rakyat, yang hadir dan berpihak kepada mereka yang paling membutuhkan.

Ketika APBN benar-benar diarahkan untuk menghapuskan kesenjangan dan ketimpangan sosial, maka peran negara sebagai pelindung rakyat kecil bisa diwujudkan secara nyata. Tak hanya pada aspek bantuan sosial, melainkan juga pada investasi jangka panjang seperti pendidikan berkualitas dan pemberdayaan ekonomi mikro yang berkelanjutan. Langkah ini dapat memperkuat fondasi ekonomi masyarakat dari akar rumput, bukan hanya memberi bantuan sesaat.

Penting bagi generasi muda, termasuk mahasiswa, untuk tidak apatis terhadap isu fiskal. Karena masa depan perekonomian Indonesia ditentukan oleh bagaimana kita hari ini memahami, mengkritisi, dan terlibat aktif dalam kebijakan negara. Menjadi agen perubahan bukan hanya lewat aksi besar, tetapi juga lewat pemahaman yang benar dan kepedulian yang tulus terhadap kondisi sosial-ekonomi bangsa.

Selain manfaat langsung, APBN juga berdampak pada penciptaan stabilitas ekonomi makro yang pada akhirnya menetes ke level mikro. Ketika inflasi terkendali, lapangan pekerjaan tercipta, dan iklim usaha membaik, masyarakat bawah pun merasakan manfaat tidak langsung dari pengelolaan fiskal yang bijaksana. Namun, hal ini hanya terjadi jika perencanaan dan pelaksanaan anggaran benar-benar mengedepankan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan, bukan sekadar mengejar target angka-angka di atas kertas.

Diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan elemen masyarakat untuk menciptakan sistem penganggaran yang tanggap dan adaptif. Kebutuhan masyarakat terus berkembang, dan anggaran negara harus mampu mengakomodasi perubahan tersebut. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), pengawasan pelaksanaan proyek, hingga evaluasi hasil program, adalah bentuk konkrit dari demokrasi fiskal yang seharusnya dikembangkan di Indonesia.

Sebagai contoh, banyak desa kini mulai mengelola Dana Desa dengan lebih partisipatif, melibatkan warga dalam menentukan prioritas pembangunan. Transparansi anggaran lewat papan informasi, laporan publik, dan aplikasi digital telah menjadi langkah maju dalam menciptakan budaya pengawasan yang sehat. Inisiatif-inisiatif semacam ini perlu didukung dan disebarluaskan agar menjadi praktik umum, bukan pengecualian.

Harapan untuk menciptakan fiskal yang berpihak pada rakyat kecil bukan hal yang mustahil. Diperlukan kemauan politik yang kuat, tata kelola yang baik, dan keterlibatan publik yang terus tumbuh. Mahasiswa, akademisi, dan jurnalis punya peran strategis dalam mendorong literasi fiskal dan mengkritisi jalannya anggaran negara. Dengan begitu, APBN benar-benar menjadi milik rakyat, yang dirancang, dijalankan, dan diawasi demi kesejahteraan bersama.


Tulisan: Devi Aleyda Qur’ani Muttaqien (NIM 08010122005), mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya