Setiap kali bulan Muharram tiba dan umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah, masyarakat Muslim diingatkan kembali pada peristiwa penting hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah bukan semata perpindahan geografis, melainkan simbol transformasi sosial, politik, dan spiritual yang sangat mendalam. Dalam konteks kekinian, peringatan Tahun Baru Hijriah mestinya menjadi momentum untuk melakukan hijrah dalam makna perubahan—baik perubahan pribadi, komunitas, maupun kebijakan kolektif umat.
Tantangan kita hari ini sangat berbeda dengan masa Rasulullah. Kita hidup dalam era yang disebut era disrupsi, di mana perubahan berlangsung begitu cepat karena inovasi teknologi, digitalisasi, dan globalisasi. Dalam situasi ini, umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk adaptif, inovatif, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang mendalam.
Tahun Baru Hijriah di Era Disrupsi
Konsep disrupsi pertama kali dicetuskan oleh Clayton Christensen (1997) dalam teorinya tentang disruptive innovation. Teknologi yang awalnya hanya digunakan oleh segmen kecil, dalam waktu singkat mampu mengguncang tatanan besar yang mapan. Era disrupsi saat ini menandai runtuhnya otoritas lama dan naiknya kekuatan-kekuatan baru: munculnya platform digital yang menggantikan peran media tradisional, e-commerce yang menantang pasar konvensional, hingga algoritma AI yang mengubah cara kita bekerja dan berinteraksi.
Dalam dunia Muslim sendiri, fenomena disrupsi ini nyata. Dakwah digital melalui TikTok, YouTube, dan Instagram telah menjangkau jutaan orang, namun juga membawa risiko dangkalnya pemahaman agama. Ustaz selebgram, kajian instan, dan kultus personalitas menggeser otoritas keilmuan yang sebelumnya berbasis pesantren dan masjid.
Tantangan umat di era ini bukan hanya pada aspek teknologi, tapi juga pada dimensi nilai. Ketika kapitalisme digital mendorong konsumsi tak terkendali, bagaimana umat Islam menjaga ruh asketisme dan kesederhanaan? Di sinilah, refleksi tahun baru Hijriah menjadi sangat relevan: apakah kita siap melakukan “hijrah” dari gaya hidup konsumtif menuju spiritualitas yang membebaskan?
Generasi Z dan Tantangan Spiritualitas
Generasi Z, yang lahir pada rentang tahun 1997–2012, kini mulai memasuki usia produktif. Mereka dikenal sebagai generasi digital-native yang akrab dengan gawai sejak lahir. Karakter mereka adalah cepat, visual, multitasking, dan sangat adaptif. Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi tantangan kesehatan mental, krisis identitas, dan kerentanan spiritual yang tinggi.
Studi Pew Research Center (2019) menemukan bahwa meski Generasi Z sangat melek teknologi, tingkat keterhubungan mereka dengan institusi agama mengalami penurunan. Banyak dari mereka lebih memilih jalan spiritual personal dibandingkan dengan keterlibatan dalam komunitas keagamaan formal. Di sisi lain, mereka juga menjadi kelompok yang sangat peduli terhadap isu lingkungan, keadilan sosial, dan inklusivitas.
Pertanyaannya: bagaimana tahun baru Hijriah dan nilai hijrah bisa dimaknai oleh Generasi Z?
Pertama, hijrah bisa diinterpretasikan sebagai perubahan kesadaran dari superficiality ke substansialitas. Ini sejalan dengan kebutuhan Gen Z untuk menemukan makna di tengah banjir informasi dan tekanan sosial media.
Kedua, hijrah dapat diartikan sebagai transformasi dari individualisme ke partisipasi sosial. Umat Islam, terutama generasi muda, perlu kembali melihat Islam sebagai kekuatan kolektif yang mampu mendorong perubahan sosial.
Resolusi Keumatan: Apa yang Harus Dilakukan?
Tahun baru Hijriah harus menjadi momentum reflektif umat Islam untuk membuat resolusi bersama. Resolusi yang tidak sekadar seremonial, tapi membawa energi perubahan nyata. Beberapa poin resolusi keumatan yang relevan adalah:
1. Revitalisasi Literasi Islam Digital
Dakwah dan edukasi keislaman harus mengikuti perkembangan zaman. Perlu dibangun ekosistem literasi digital Islam yang sehat—yang bukan hanya menawarkan motivasi, tapi juga memberikan kedalaman pemahaman. Kementerian Agama, MUI, dan ormas Islam perlu membangun kurikulum dakwah digital berbasis etika dan keilmuan, serta memberdayakan konten kreator muda yang paham nilai Islam substantif.
2. Ekonomi Hijrah: Dari Konsumsi ke Produksi
Konsep ekonomi hijrah menekankan pada perpindahan dari konsumsi reaktif menuju produksi kreatif. Generasi Z yang memiliki talenta digital bisa diarahkan untuk menjadi content creator, entrepreneur, dan pelaku ekonomi syariah. Dengan platform seperti Halal Marketplace, Wakaf Digital, dan Crowdfunding ZIS (Zakat, Infak, Sedekah), potensi ekonomi umat bisa digerakkan dari bawah.
3. Islam sebagai Gerakan Sosial
Nilai hijrah tidak pernah lepas dari keberpihakan kepada yang tertindas. Resolusi keumatan harus mengembalikan Islam sebagai kekuatan pembebas—yang hadir di tengah problem masyarakat seperti kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan gender. Gerakan filantropi, advokasi sosial, hingga gerakan green masjid adalah contoh aktualisasi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4. Manajemen Diri dan Sumber Daya Manusia
Konsep self management yang diajarkan Islam sangat relevan dengan kebutuhan pengembangan SDM umat. Waktu (manajemen waktu ala hijriyah), akhlak, dan produktivitas menjadi tiga komponen utama. Menghidupkan kembali semangat puasa sunnah, qiyamul lail, atau tilawah harian bisa menjadi bagian dari upaya memperkuat spiritualitas sekaligus meningkatkan disiplin.
5. Kebijakan Umat Berbasis Data
Umat Islam perlu keluar dari jebakan wacana reaktif. Resolusi tahun baru Islam harus berbasis riset dan data. Siapa umat Islam Indonesia hari ini? Apa masalah utamanya? Bagaimana strategi ekonominya? Kajian-kajian seperti Muslim Consumer Behavior, Islamic Social Capital, dan Halal Ecosystem harus dikembangkan lebih serius agar umat tidak hanya jadi objek, tapi subjek transformasi.
Penutup: Hijrah sebagai Langkah Peradaban
Hijrah adalah energi perubahan. Dalam konteks kekinian, hijrah berarti membangun kembali peradaban Islam dengan menyentuh jantung persoalan umat: spiritualitas, kesadaran kritis, literasi, dan partisipasi sosial.
Bagi Generasi Z, tahun baru Hijriah bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi membuka ruang refleksi dan aksi masa depan. Apakah mereka siap menjadi generasi hijrah yang berani keluar dari zona nyaman menuju peradaban Islam yang mencerahkan?
Tahun baru Hijriah adalah waktu yang tepat untuk mengoreksi arah. Jika selama ini kita mengejar materi, kini saatnya menata makna. Jika selama ini Islam hanya dipraktikkan sebagai ritual, kini saatnya kita menjadikannya sebagai gerakan sosial. Dan jika selama ini kita kehilangan arah, kini saatnya hijrah kembali ke prinsip awal: keadilan, kesederhanaan, dan kemanusiaan.
Posting Komentar