Humanistis dan Romantika Film The Flu, Selamat Dari Virus Adalah Tujuan Utama

sumber: rottentomatoes

Judul        : THE FLU (2013)

Tanggal Rilis : 14 Agustus 2013

Sutradara : Kim Sung-su

Produser : Kim Sung-jin, Seo Jong-hae, Jeong Hoon-tak, Im young-ju

Penulis naskah : Lee Yeong-jong, Kim Sung-su

Durasi : 121 menit

Produksi : iFilm Corp

       “The Flu” atau dalam bahasa Korea adalah Gambi merupakan film gubahan asal negeri ginseng yang telah dirilis sejak 2013. Walaupun demikian film ini tetap layak ditonton. Alur cerita ini  menggambarkan kekacauan di tengah penyebaran wabah flu hingga perjuangan bertahan hidup. Secara tidak langsung film The Flu ini bentuk representasi pada situasi di masa pandemi Covid-19.

        Berawal dari transaksi imigran gelap yang dilakukan di kota Bundang Korea Selatan. Seorang penyelundup, yang merupakan kakak beradik bernama Byung-ki dan Byung-woo, mendapati kontainer gelap mencurigakan. Setelah dibuka, container tersebut mengeluarkan bau tak sedap. Byung-woo ingin memastikan. Ia menyalakan senter dari ponselnya dan melihat sesisi kontainer dan ternyata container tersebut dipenuhi mayat yang mulai membusuk. Tanpa disengaja Byung-woo terjatuh sehingga tersentuh badan-badan mayat. Namun, ada salah satu seorang imigran yang masih hidup bernama Moonsai. Ia meminta tolong kepada Byung-ki dan Byung-woo untuk diselamatkan. Perasaan khawatir dan takut, keduanya merekam keadaan container tersebut lalu membawa Moonsai pergi bersama mobil mereka.

    Keesokan harinya, virus mulai menyebar ke penjuru kota Bundang. Seisi kota menjadi tidak terkendali. Banyak korban berjatuhan di jalan, rumah sakit penuh, tenaga medis kewalahan menangani pasien, dan warga melakukan penjarahan bahan pokok di supermarket. Di ketahui virus tersebut dibawa oleh Byung-woo yang telah bersentuhan dengan badan mayit di kontainer.

    Situasi semakin kalut, pemerintah mengambil tindakan tegas dengan menutup semua akses kegiatan. Kota Bundang diisolasi sehingga tidak ada yang keluar atau masuk dengan tujuan menghambat penyebaran virus flu. Sebelumnya, penerapan karantina yang dilakukan oleh pemerintah cukup baik. Namun, penduduk mulai mengetahui bahwa pasien dengan positif virus flu tidak dirawat dengan baik melainkan ditempatkan di pembakaran manusia. Emosi memuncak dan seisi kota Bundang melakukan demontrasi di jalan perbatasan kota Seoul dan Bundang. Beberapa kali terjadi penembakan kepada warga yang memaksa melewati perbatasan.

    Gejolak yang terjadi antara warga dan tentara semakin kacau. Di sisi lain, adanya perdebatan antara petinggi politik dan medis yang masing-masing mencari kepentingan. Perwakilan PBB Snyder membawa misi untuk menyelamatkan masyarakat dunia dengan memusnahkan seluruh penduduk Bundang yang terinfeksi tanpa mempertimbangkan usaha tenaga medis yang kala itu mencari obat penawar virus. Hal tersebut tidak lazim. Rencana Snyder terhenti disaat Presiden Korea lebih mendukung tim medis untuk membuat vaksin. Tidak banyak hal yang harus dilakukan saat pandemi, kebingungan bercampur rasa panik dengan bayang-bayang kematian di depan mata. Keputusan yang bijak dalam menangani virus harus segera dilakukan untuk menyelamatkan seluruh penduduk bundang dan masyarakat dunia.

    Alur cerita ini semakin diperkuat dari kisah perjuangan seorang ibu, Dr. Kim In Hae, yang berprofesi sebagai tenaga medis yang sekaligus berperan sebagai orang tua pasien, sebab anaknya telah terinfeksi virus flu tersebut. Dr. Kim In Hae semakin dilema dengan profesinya harus menuntaskan para korban sebagai tenaga medis sekaligus ingin menyembunyikan kondisi anaknya. Bagian romantic tidak terlepas dari karakteristik film korea. Bukan tanpa sebab seorang pemadam kebakaran menolong anak Dr. Kim In Hae, yang mana hal tersebut adalah tanggung jawabmenyelamatkan orang lain sekaligus alasan utamanya ialah ia terpikat dengan Dr. Kim In Hae.

    Dengan durasi film 121 menit director film ini lebih banyak menampilkan sudut sifat asli manusia ketika dihadapkan kepanikan. Pandemi virus telah menjadi momok, tanpa diketahui darimana virus itu bermula, Korea Selatan juga berhasil menambahkan bumbu romantis di tengah kegelisahan kondisi wabah di dalam filmnya.

    Cerita yang sangat kompleks menampilkan beberapa poin dari sudut pandang berbeda cukup berhasil menginspirasi penonton, bagaimana kita bisa menilai atau setidaknya dapat belajar mengambil keputusan dari setiap pemerannya. Ada seorang pemeran yang memikiran dirinya sendiri, ada juga pemeran yang membuat kebijakan-kebijakan pemerintah, ada pemeran yang memikirkan keselamatan secara global, kemudian pemeran seorang ibu yang menyelamatkan anaknya yang terkena virus tanpa memedulikan dirinya sendiri, dan tentunya masih banyak hikmah yang dapat dipelajari dari film ini. Namun, bagi orang yang tidak terlalu suka dengan sentuhan melodrama akan merasa film ini terlalu mendramatisir suasana dibeberapa bagiannya dan dibagian akhir agaknya terlalu lama untuk waktu yang dibutuhkan dalam sampai pada klimaksnya.


(Sendy Setya Azzuri)