Gadis Kecil

Dia bukanlah seorang gadis cantik yang selalu memoles wajahnya dengan make up tebal yang membuatnya terlihat seperti badut yang akan berpentas.
Dia bukanlah seorang gadis cantik yang selalu berfikir laki-laki yang pintar, kaya, dan tampan adalah laki-laki yang laik bersanding di sampingnya.
Dia hanya seorang adik dari laki-laki bernama Kevin.
Dia, Reina.
Perempuan yang sedang menjalin hubungan dengan laki-laki yang berjarak ribuan mil dari tempat ia berpijak.
Dia di Jakarta, Indonesia.
Dan laki-laki itu di Paris, Perancis.
“Aku mencintaimu, Reina. Selamat hari kasih sayang.” tulis Ansel di dinding facebook-nya.
“Aku mencintaimu juga. Semangat untuk ujian akhir mu.”
Ya, tak ada bunga.
Tak ada cokelat.
Tak ada boneka, ataupun hadiah yang lainnya.
Hanya sebuah ucapan klise penuh kasih yang bisa dilakukan.
Terkadang hal ini terdengar begitu menyedihkan. Dimana mereka saling mencintai, tapi tak bisa bertemu hanya karena jarak yang begitu jauh.
Reina menghela nafasnya sekali lagi. Ia menekuk lututnya, menumpukan kepalanya kepada kedua tangannya, “Aku ingin memeluknya.”
Reina berfikir hal apa saja yang akan mereka lakukan jika mereka berada di tempat yang sama. Mungkin membanggakan pacar kesayangannya agar teman-temannya tak mengusilinya lagi dengan istilah pacar tak terlihat.
Bunyi notifikasi skype mematikan imajinya.
Reina tersenyum sumringah. Berjalan cepat kearah laptopnya berada.
Reina mengklik beberapa hal. Setelahnya, wajah Ansel terpampang jelas di layar laptopnya. Dengan senyuman lima jari kebanggaannya.
“Hallo, sweetie… Bagaimana kabarmu hari ini?” Suara bass Ansel menggema melalui speaker laptopnya.
Reina tersenyum kecil, “Sangat buruk. Tu me manques1… Tapi, sekarang lebih baik setelah aku mendengar suaramu.”
“Ah iya, aku ada tugas Bahasa Inggris. Tentang orang yang tersayang. Jadi aku menulis tentangmu. Bantu aku menyelesaikan tugasku.” Wajah memelas Ansel tercetak di layar.
Idiot, batin Reina. “Bien sûr2.”
Ansel mengembangkan senyumnya, “Tunggu sebentar. Aku akan mengambil buku.” Wajah Ansel menghilang, tergantikan dengan pemandangan yang ada di dalam kamar Ansel.
Ansel kembali dari acara mengambil bukunya. Ia berdeham kecil, “Berapa tinggi badanmu?”
“Seratus lima puluh tujuh sentimeter.”
Ansel menulis dibukunya, terlihat serius. “Berat badan.”
“empat puluh lima kilo gram.”
“Warna mata?” Tanya Ansel kembali tanpa melihat kelayar.
Reina mengernyitkan dahinya, “Apa kau tak bisa melihatnya? Aku terlihat jelas di layar laptopmu.”
Ansel cengengesan, memajukan wajahnya, “Hitam.” Ansel melanjutkan kembali, “Alamat rumahmu?”
“Apakah ini harus kuberitahu juga?”
Oui3.”
Dua minggu berlalu. Reina melihat kalender. Lima maret, batinnya. Hari ini adalah harinya. Ia begitu penasaran hal apa yang akan pacar idiotnya lakukan di hari bersejarahnya ini.
Ia menengok kearah ponselnya yang teronggok di sudut kasur. Menunggu ucapan selamat dari yang terkasih.
Baru saja Reina akan keluar kamar ketika notifikasi ponselnya berbunyi, menampilkan lagu Alone dari Marshmallow.
Ia buru-buru menggeser tombol hijau dilayar. Menaruhnya ditelinganya. “Halo…”
Diseberang sana Ansel menjawab, “Apa kau bisa ke bandara sekarang?” Terdengar suara gemerisik disekitarnya.
“Bising sekali. Apa yang terjadi?” Tanya Reina cemas.
“Disini sedang hujan salju. Apa kau bisa mengambil paket yang ku kirimkan untukmu?” ucap Ansel.
“Kenapa paketnya ada di bandara? Tidakkah seharusnya diantar ke rumah?” Suara Reina penuh selidik. Ia mengernyitkan dahinya, bingung akan permintaan kekasihnya.
“Aku tak tahu, pihak pengiriman baru saja menghubungiku, mereka bilang mereka tak bisa mengantarkan paket ini,” kata Ansel. Suaranya mengecil diakhir kata, terdengar seakan alasannya hanyalah bualan semata.
Reina terdiam sesaat, “dan kenapa mereka tak bisa mengantarkan paketnya?”
“Tak bisakah kau hanya datang ke bandara dan mengambil paketnya…” Ansel merengek, mencoba merayu kekasihnya.
Reina menghela nafas, pacar idiotnya selalu menggunakan segala cara untuk membujuknya agar mengatakan ‘ya’, “Baiklah, ini akan sedikit macet.”
Reina hampir saja memencet tombol merah ketika ia mendengar pacar idiot nya berbisik, menyerukan untaian kata, “Aku menunggumu, Rein. Je t’aime4.”
Reina terkekeh sebentar sebelum memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia lalu mengingat kembali tujuan utama kekasihnya, Ansel menghubunginya.
Reina bergegas mengambil dompetnya, tak lupa sebuah jaket untuk melindungi kulitnya dari sengatan sinar matahari.
Ia lalu keluar rumah, menengokkan kepalanya kekanan dan kekiri. Saat sebuah taksi lewat, ia menghentikannya. Berpikir menaiki taksi akan mempersingkat perjalanannya menuju bandara.
Reina menyebutkan tujuan kepergiannya pada sang supir. Ia lalu mengitung uang yang ada di dompetnya, mengira-ngira apakah uangnya cukup untuk membayar ongkos argo.
Satu jam Reina habiskan dalam perjalanan.
Ia lalu melangkah ke dalam bandara. Reina lupa menanyakan pada pacar idiotnya dimana paket itu berada.
Reina lantas mengambil ponselnya kembali.
Mencoba mengirim pesan kepada kekasihnya, Dimana aku harus mengambil paketnya?
Beberapa menit berlalu, ponselnya belum berdering. Ia harap-harap cemas, bertanya-tanya kenapa kekasihnya sangat lama membalas.
Reina hendak berjalan menuju tempat duduk ketika bunyi notifikasi ponselnya bersua.
Reina menundukkan kepalanya, membaca pesan dari kekasihnya. Paketmu ada di hadapanmu.
Reina mempertemukan kedua alisnya, tanda tak mengerti. Ia hampir saja membalas pesan dari kekasih idiotnya, ketika pesan baru masuk sekali lagi.
Jangan melihat ponselmu terus. Tegakkan kepalamu. Paketmu ada di hadapanmu.
Reina dengan segera mengalihkan atensinya dari layar ponselnya.
Reina terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya. Ia pun memandang ponselnya dan hal yang ada di depannya bergantian.
Berkedip beberapa kali, Reina mencoba menghubungi nomor pacar idiotnya.
Reina mendengar bunyi nada disambungkan, juga suara lagu Alone dari Marshmallow di seberang sana.
Seseorang dihadapannya menyeringai. Menggeser tombol hijau di layar ponselnya, “halo…”
Reina tergagap, matanya masih terfokus pada seseorang di hadapannya, “An… Ansel…”
Seseorang di hadapannya tertawa kecil, suara bassnya menggema di ruangan bandara juga di lubang-lubang speaker di ponselnya, “Paketmu telah datang, Reina.”
Langkah pertama Reina adalah mengakhiri panggilan di ponselnya. Lantas Reina tak bergeming, ia masih sulit mempercayai seseorang yang berdiri dihadapannya adalah pujaan hatinya, Ansel.
Laki-laki tersebut berjalan tegap, terlihat gagah dengan tinggi enam kakinya.
Laki-laki tersebut. Ansel. Melayangkan kedua tangannya, menggapai Reina kedalam pelukan hangatnya.
Dalam dekapan Ansel, ia memproses hal yang terjadi hari ini.
Ansel berbisik kembali, “Paketmu telah datang, Rein.”
Dalam dekapan Ansel, ia bergetar. Tak kuasa mendengar suara Ansel dengan jarak sedekat ini.
“Benar, paketku telah datang.” Gumam Reina.
Reina menjatuhkan lengannya dipinggang Ansel, mencoba mencari kebenaran dari fantasi liarnya akan kedatangan pacar idiotnya.
“Selamat ulang tahun, Rein. Je t’aime.”
Je t’aime aussi5, Ansel.”
Reina berpikir, tak ada hari ulang tahun yang lebih istimewa dari ini. Paket dari Ansel adalah paket teristimewa yang pernah dikirim untuknya.
And well, impiannya untuk membanggakan sang pujaan hati pada teman-temannya akan terwujud jua.

Tu me manques1 : Aku merindukanmu
Bien sûr: Tentu Saja
Oui: Ya
Je t’aime: Aku mencintaimu
Je t’aime aussi: Aku juga mencintaimu