Bukan Pengepul Sertifikat

Gambar. me.me


Sebagai mahasiswa tentu tidak akan asing dengan istilah seminar, ya seminar. Di berbagai Universitas seminar sudah barang tentu ada. Jika ada mahasiswa maka ada seminar. Sebenarnya apakah makna dari seminar ini. Menurut pemahaman dari beberapa bacaan dari internet tentunya. Umumnya seminar adalah bentuk pengajaran akademis dimana disana ada pembicara, baik kaum intelektual maupun bukan kalangan itu. Di dalam seminar sendiri lazimnya ada moderator sebagai penyambung antara peserta dan pembicara. Jelas, di dalam seminar ada hubungan timbal balik positif. Artinya peserta dapat berperan aktif, misalnya bertanya.
Sebagai mahasiswa, hampir ditiap kegiatan kampus memasukkan seminar sebagai salah satu agenda penting. Di UINSA, lumrah jika ada kegiatan prodi seperti hari jadi prodi atau fakultas akan mengadakan seminar. Latar belakang apakah sebenarnya tiap prodi atau fakultas mengadakan seminar. Saya rasa, ketika mengadakan seminar ini tidak lagi memaknai esensi nilai akademis. Seminar hanya ajang untuk berlomba menjaga gengsi semata. Keberhasilan seminar hanya pada banyaknya jumlah pendaftar atau peserta. Maka, untuk menarik minat peserta disiapkan sertifikat baik bernama maupun tidak.
Sertifikat sendiri, ditengarai menjadi salah satu syarat untuk mengajukan skripsi. Singkatnya, kumpulkan sebanyak mungkin sertifikat agar bisa skripsi. Buruk sekali pemahaman ini. Dengan anggapan ini, maka tiap mahasiswa tidak ragu untuk mendaftar seminar. Dengan harga kisaran Rp 10.000,00 – Rp 20.000,00 mereka bisa mendapatkan sertifikat. Disini hukum ekonomi itu berlaku: semakin rendah harga yang ditawarkan maka semakin banyak jumlah pendaftarnya.
Sebagai pihak yang mengadakan seminar tentu mereka tidak terlalu berpikir tentang input apa untuk peserta. Terpenting program terlaksana, peserta banyak, dan marwah kelompok terjaga. Lebih-lebih dipandang meriah, boom, dan meledak oleh orang lain. Cukuplah itu saja bagi mereka. Tentu mereka tidak terlalu pusing tentang ouput yang akan didapatkan peserta kalau orientasinya hanya seperti itu.
Di beberapa seminar, sering saya temui peserta yang datang terlambat. Termasuk saya sendiri juga pernah seperti itu. Bahkan ada yang sengaja tidak datang hanya membayar—membeli sertifikat. Hal semacam itu diperbolehkan ternyata. Karena apa ? karena orientasi mereka seperti yang sudah tersebut di atas. Dan, apakah penyelenggara sepenuhnya salah dalam hal ini. Tentu saja tidak, penyelenggara hanya sebagai pihak yang menangkap peluang—memberikan jasa sertifikat kepada mahasiswa. Jika peserta tidak mendapatkan input atau ilmu dari seminar, salah siapa ? tidak ada yang salah. Tugas mahasiswa adalah mengumpulkan sertifikat untuk skripsi, sederhana.
Saya yakin sepenuhnya bahwa kegiatan seminar ini adalah kegiatan yang sangat baik secara tujuan. Sebagai mahasiswa sangat diperlukan pandangan-pandangan baru selain apa yang telah diajarkan oleh dosen di kelas. Mendapat pendapat baru dari orang baru dan topik baru sangat baik, sebagai mahasiswa kita tidak terkungkung pada jurusannya saj, apalagi hanya mengandalkan materi dalam kelas.  Ada banyak ilmu yang bisa didapat dalam setiap seminar. Dengan begitu mahasiswa akan memiliki pandangan luas sebagai bekal nantinya unuk memasuki dunia yang sesungguhnya lebih menantang.
Sudah semestinya kaum akademis duduk dengan baik di dalam ruang akademis; seminar dan juga kajian di dalamnya. Aktif menyimak dan saling lempar gagasan dalam sesi tanya jawab seminar kepada narasumber. Bukan lantas, dengan label mahasiswa menjadikan bebas meninggalkan ruang seminar, datang terlambat, atau hanya membayar tanpa duduk menyimak.  Lalu datang ketika di lain hari untuk mengambil sertifikat. Jangan sampai mahasiswa hanya jadi pengepul sertifikat yang membias saat ditanya mengenai tema terkait di atas kertas sertifikat yang agung itu. 

Nikmatus Sholihah 
Mahasiswa Ilmu Ekonomi